{ Perayaan Mati Rasa }
Aku duduk di antara keramaian yang riuh, tapi telingaku sepi. Mereka tertawa, bersulang, berpeluk, seolah dunia tak punya luka. Tapi aku? Aku hanya diam, mematung, menyaksikan pesta dari dalam diriku yang kosong.
Ada semacam perayaan yang aneh di dalam dada ini. Bukan perayaan suka cita, bukan pula duka nestapa. Tapi pesta diam—pesta mati rasa. Seperti tubuh yang terbiasa terbakar dan akhirnya tak lagi merasa hangus. Seperti jiwa yang terlalu sering tenggelam, hingga air tak lagi dingin, tak lagi menakutkan.
Dulu, setiap tawa bisa membuatku tersenyum. Setiap luka bisa membuatku menangis. Kini, tawa dan tangis hanya bunyi. Getar-getar hampa yang tak mampu menyentuh dasar perasaanku. Mungkin aku telah terlalu sering patah, terlalu sering kecewa, hingga tubuh ini memilih bertahan dengan mati rasa sebagai pelindungnya.
Aneh ya, bagaimana manusia bisa berdansa di atas reruntuhan emosi? Aku pun ikut menari, meski langkahku kaku. Ikut tersenyum, meski wajahku hanya topeng. Aku jadi tamu kehormatan di perayaan ini—perayaan kehilangan rasa, dan betapa ironisnya, tak ada seorang pun yang sadar.
Biar saja. Mungkin ini bentuk baru dari bertahan. Mungkin inilah versi terakhir dari diriku yang sudah lelah merasa. Mati rasa, tapi tetap hidup. Hampa, tapi masih berjalan.
Dan malam ini, aku rayakan sepi ini dengan diam yang meriah. Selamat untukku—yang masih ada, meski tak sepenuhnya hidup.
Komentar
Posting Komentar