{ Hancur Tak Bersisa }

 



Aku tak tahu pasti kapan segalanya mulai runtuh.
Mungkin saat aku berhenti percaya bahwa cinta bisa menyelamatkan segalanya,
atau mungkin… 
sejak aku mulai menipu diri sendiri bahwa aku baik-baik saja.
Yang jelas, aku sudah terlalu lelah untuk pura-pura utuh.
Dada ini sudah terlalu sering dihantam kecewa,
hingga kini tak ada yang tersisa selain reruntuhan yang sunyi.
Pecahan harapan berserakan, tajam,
dan setiap kali aku mencoba memungutnya,
aku justru melukai diriku sendiri lebih dalam.
Aku hancur, bukan karena satu patah,
tapi karena terlalu banyak luka kecil yang kupendam sendirian.

Senyum yang kupakai adalah topeng,
dan tawa yang kau dengar hanya gema dari kekosongan.
Tak ada yang benar-benar mengerti betapa riuhnya kepalaku setiap malam,
betapa hancurnya hatiku saat dunia mengharuskan aku tetap kuat
padahal aku bahkan tak tahu caranya bertahan.
Semua orang hanya melihatku berjalan,
tanpa tahu aku sedang menyeret tubuh yang nyaris tak bernyawa.
Semua orang hanya melihat aku diam,
padahal dalam diam itu aku sedang berteriak—meminta tolong,
dengan suara yang tak mampu menjangkau siapa pun.
Aku tak ingin jadi puing,
tapi hidup terlalu kejam untuk kubangun kembali.
Apa gunanya membangun dinding baru jika dunia akan menghancurkannya lagi?
Maka kali ini, biarkan aku tetap hancur.
Tak perlu disatukan, tak perlu diperbaiki.
Karena mungkin, inilah akhir dari diriku yang dulu—
dan aku tak yakin ada sesuatu yang bisa tumbuh dari kehancuran sebesar ini.
Biarkan saja aku tenggelam dalam reruntuhan ini,
karena setidaknya di sini aku jujur tentang rasa sakitku.

Tak perlu lagi pura-pura tangguh,
tak perlu lagi menyulam senyum di atas wajah yang sudah kehilangan cahaya.
Biar waktu berlalu, biar semua orang pergi.
Aku tak lagi mengejar apa pun bahkan harapan pun kini terasa asing.
Dulu, aku percaya bahwa dari luka bisa tumbuh kekuatan.
Tapi yang tak pernah mereka ajarkan adalah,
kadang luka justru terlalu dalam untuk membiarkan apa pun tumbuh.
Yang tersisa hanyalah tanah tandus,
kering, retak, penuh luka lama yang menganga dan tak ingin sembuh.
Setiap langkah kini seperti menjejak di atas pecahan yang kutebar sendiri.
Sakit, ya. Tapi bukankah itu lebih baik
daripada terus berjalan di jalan yang dipenuhi kebohongan tentang ‘kesembuhan’?
Aku tak ingin mendengar lagi nasihat bahwa semua akan baik-baik saja.
Karena kenyataannya, tidak semuanya akan baik.

Beberapa hal memang diciptakan untuk berantakan.
Beberapa cinta memang ditakdirkan untuk menghilang,
dan beberapa manusia… 
memang hanya mampir untuk meninggalkan luka.
Aku pernah menggenggam dunia dengan penuh semangat,
pernah bermimpi terlalu tinggi dan mencintai terlalu dalam.
Tapi justru di sanalah letak kejatuhanku.
Cinta membuatku terbakar perlahan,
dan mimpi yang tak sampai menjadi abu yang kini memenuhi dadaku.
Kini aku hanya ingin diam,
menjadi puing yang tak lagi berusaha bangkit.
Bukan karena aku menyerah,
tapi karena aku sedang belajar menerima bahwa tidak semua kehancuran
perlu dicari artinya.
Kadang, hancur ya memang hanya itu: hancur.
Dan jika suatu hari ada yang bertanya tentangku,
katakan saja aku pernah mencoba,
pernah bertahan,
pernah mencintai sepenuh hati
hingga akhirnya aku lelah,
dan membiarkan diriku hancur,
bukan karena kalah…
tapi karena terlalu banyak kehilangan
yang tak pernah bisa kupulihkan. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

{ SKIZOFRENIA }

{ LAKUNA }

{ NELANGSA }