{ Ibu Maafkan Aku }

 




Maaf, Ibu…
aku tahu aku telah mengecewakanmu,
dan kata maaf ini mungkin tak cukup untuk menghapus luka yang sempat kuukir di hatimu
Aku bisa melihatnya di matamu kekecewaan yang tak kau ucapkan,
namun mengendap di setiap napasmu,
di setiap doa yang kau lafalkan dengan air mata.
Aku tahu harapanmu begitu tinggi padaku,
kau relakan lelah dan waktu, kau kubur impianmu sendiri,
hanya agar aku bisa menggapai mimpiku.
Tapi aku malah terpeleset, terlalu sering tersesat,
dan lebih memilih keras kepala daripada mendengar nasihatmu yang selalu benar pada akhirnya.

Aku ingin kau tahu, Bu…
tak ada satu haripun aku bangga mengecewakanmu.
Tak ada satu malampun aku bisa tidur nyenyak tanpa dihantui rasa bersalah.
Aku hanya… terlalu lemah, terlalu takut,
dan mungkin terlalu bodoh untuk jadi anak yang kau banggakan.
Namun di balik semua kegagalanku,
aku tetap anakmu—yang selalu ingin kembali pulang,
yang selalu ingin kau peluk meski basah oleh air mata penyesalan.
Berilah aku kesempatan lagi, Bu…
bukan untuk menghapus yang telah terjadi,
tapi untuk memperbaiki diri, agar suatu hari nanti,
kau bisa berkata, “Anakku memang sempat jatuh tapi dia bangkit dengan gagah.”

Dan jika hari itu tiba, Bu,
aku ingin kau berdiri di barisan paling depan—
menyaksikan sendiri bagaimana aku memperjuangkan harapan yang dulu hampir kubiarkan mati.
Aku ingin kau tahu bahwa luka ini telah menjadi pelajaran,
bahwa kegagalan ini tak akan sia-sia,
karena aku menanam tekad di atasnya—tekad untuk berubah,
untuk menjadi sosok yang pantas kau sebut sebagai buah hatimu.
Aku tahu, Ibu,
tak mudah memaafkan anak yang membuatmu diam dalam kekecewaan,
yang membuatmu menangis dalam sepi saat yang lain tertawa bangga atas anak-anak mereka.

Tapi aku memohon…
jika kau tak bisa mempercayai kata-kataku,
izinkan aku membuktikannya lewat tindakan,
lewat hari-hari yang kutata ulang dengan lebih bijak,
lewat pilihan-pilihan yang kutimbang dengan hati yang lebih tenang.
Bu, aku rindu menjadi alasan senyummu.
Rindu melihat mata tuamu berkaca-kaca bukan karena sedih,
melainkan karena haru dan bahagia.
Aku ingin suatu saat nanti duduk di sampingmu,
menceritakan setiap perjuangan dan luka yang telah membentukku,
dan berkata, “Semua ini untukmu, Bu… karena kau tak pernah lelah mencintaiku meski aku pernah gagal mencintai diriku sendiri.”
Jadi hari ini, aku bersumpah dalam hati:
apa pun yang terjadi, aku akan terus melangkah,
walau perlahan, walau tertatih,
demi menebus setiap kecewa yang sempat kau telan dalam diam.
Karena tak ada kemenangan yang lebih indah,
selain melihatmu bangga
karena aku tak menyerah... 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

{ SKIZOFRENIA }

{ LAKUNA }

{ NELANGSA }