{ Cerpen || Hujan di Dalam Dada }

 



   

Sudah seminggu hujan turun tanpa henti. Langit seolah lupa caranya tersenyum. Dan entah mengapa, setiap tetes yang jatuh di luar jendela seperti menjatuhkan sesuatu juga di dalam dadaku—yang entah apa namanya selain sepi.

Namanya Arga. Ia datang seperti musim yang tak kutahu kapan datangnya, tapi membuat segalanya tumbuh. Dan kemudian, seperti musim juga, ia pergi tanpa aba-aba, meninggalkan reranting kenangan yang kering dan tak bisa lagi kusiram harap.

Kami tak pernah benar-benar berjanji. Tapi bukankah ada cinta yang tidak butuh sumpah, hanya butuh rasa percaya? Aku percaya, sepenuhnya. Pada kata-katanya yang sederhana. Pada caranya menggenggam tanganku yang dingin. Pada caranya menatap mata dan berkata, “Kau cukup.”

Tapi ternyata keyakinan tidak bisa menahan seseorang yang ingin pergi. Kadang orang tak lagi tinggal bukan karena tak mencintai, melainkan karena sudah terlalu lelah untuk memperjuangkan rasa yang selalu diganggu kenyataan. Dan Arga... dia memilih menyerah.

Hari itu, kami duduk berdua di bawah pohon hujan-hujanan. Langit menangis lebih dulu daripada aku. Dan ketika aku akhirnya sadar bahwa ini akan menjadi kali terakhir kami duduk bersama, aku tak bertanya apa-apa. Karena kadang yang paling menyakitkan bukan kata-kata, melainkan diam yang terlalu paham makna.

“Maaf,” katanya pelan, tanpa menoleh. “Aku tak bisa terus ada di sini, meski aku ingin.”

Aku mengangguk. Aku tidak menangis waktu itu. Tapi semenjak hari itu, hujan tak lagi terasa sama. Ia menjadi semacam alarm duka. Tetes-tetesnya seperti gema kehilangan yang tak kunjung reda.

Hari-hari setelah kepergian Arga seperti hidup dalam kamar yang tak lagi punya jendela. Aku tetap bangun, tetap makan, tetap bekerja, tapi semuanya hanya rutinitas tanpa rasa. Aku berhenti mendengarkan lagu-lagu yang dulu kami nyanyikan bersama. Berhenti pergi ke tempat-tempat yang dulu kami datangi berdua. Segalanya menjadi luka yang menyamar sebagai kenangan.

Aku pernah menulis surat panjang untuknya. Tapi tak pernah kukirim. Surat itu masih kusimpan di laci, bersama foto-foto, tiket bioskop, dan potongan kecil hal-hal yang kini hanya menyisakan perih. Dalam surat itu aku menulis:“

"Arga, tahukah kamu bahwa setiap malam aku menutup mata dengan satu harap: semoga bangun besok tak lagi terasa kehilangan? Tapi pagi selalu datang seperti debu—diam, dingin, dan tak pernah membawa kamu pulang.”


Malam adalah waktu paling sunyi. Bukan karena tidak ada suara, tapi karena saat itulah suara dalam diriku paling nyaring. Aku berbicara pada bayangannya, memutar ulang peristiwa-peristiwa kecil yang tak pernah benar-benar pergi dari pikiranku. Bagaimana ia mengikat tali sepatuku, bagaimana ia mencandai ibuku, atau bagaimana ia menatapku seperti aku satu-satunya tempat untuk pulang.

Tapi sekarang ia telah pergi, dan aku tidak tahu harus menaruh rindu ini di mana.

Kadang aku berpikir, mungkin memang tidak semua cinta harus dimiliki sampai akhir. Mungkin ada cinta yang hanya mampir untuk mengajari arti kehilangan. Dan cinta Arga, barangkali memang diciptakan untuk membuatku mengerti bahwa tidak semua hal yang kita jaga, akan bertahan. Kadang cinta itu seperti hujan—datang membawa hidup, lalu pergi tanpa permisi.

Suatu hari, aku kembali ke tempat kami biasa duduk: bangku kayu di dekat taman kecil yang kini basah oleh gerimis. Aku duduk sendirian, membawa secangkir kopi dan satu puisi yang kutulis semalam. Puisi tentang seseorang yang tetap mencintai meski sudah ditinggal.

Angin mengacak-acak rambutku, dan langit mulai kembali gelap. Hujan turun pelan, seperti biasa. Tapi kali ini aku tidak buru-buru berlari mencari tempat berteduh. Aku biarkan hujan membasahi bahuku. Biarkan dingin menyusup sampai ke tulang. Karena kali ini aku ingin jujur pada rasa yang tak pernah benar-benar pergi.

Dalam diam, aku berbisik:“

"Arga, aku baik-baik saja, meski tidak benar-benar baik. Aku sudah mulai tertawa lagi, meski masih palsu. Aku sudah mulai bangkit, meski langkahku masih gemetar. Tapi aku tetap berjalan. Karena bukankah itu yang kau mau—aku terus hidup, meski tanpamu?”


Dan hujan terus turun, tak peduli pada luka di dalam dada. Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak membenci hujan. Karena aku tahu, mungkin ini cara langit menunjukkan: kehilangan bukan akhir dari segalanya, hanya bentuk lain dari cinta yang belum selesai.

Sejak hari itu, aku semakin sering datang ke taman. Setiap minggu, pada hari yang sama, jam yang sama, aku duduk di bangku itu. Kadang membawa buku yang tak pernah benar-benar kubaca, kadang membawa roti yang tak pernah habis kumakan. Seolah aku sedang menunggu sesuatu. Atau seseorang. Padahal aku tahu, Arga tidak akan datang lagi.

Tapi begitulah rindu bekerja. Ia tak peduli logika. Ia hidup dalam kemungkinan yang tak ada. Dan aku… terus saja duduk di sana, membiarkan waktu memutar ulang kenangan yang tak kunjung pudar.

Pernah sekali, seorang lelaki duduk di bangku sebelah. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menyalakan rokok dan menatap gerimis. Diam kami seperti dua orang asing yang sama-sama tahu rasa kehilangan. Entah mengapa, kebersamaan dalam diam itu menenangkan. Tapi kemudian ia pergi, sama diamnya seperti datangnya. Seperti bayangan Arga yang kadang datang di ujung mata, tapi hilang saat aku ingin menggenggamnya.

Di kamarku, aku mulai kembali menulis. Bukan untuk mengikhlaskan, tapi untuk menyapa luka yang terlalu lama kupendam. Aku menulis tentang malam-malam yang penuh bisik dan airmata. Tentang mimpi-mimpi yang retak, tentang panggilan telepon yang tak pernah dijawab, dan tentang suara Arga yang kini hanya hidup dalam ingatanku.

Setiap kalimat seperti serpihan kaca. Menyakitkan, tapi aku tetap melangkah di atasnya, karena hanya itu cara yang kupunya untuk merasa dekat dengan yang telah jauh.

Ibuku bilang aku harus melupakan. Teman-temanku bilang aku harus membuka hati. Tapi bagaimana mungkin aku melupakan seseorang yang pernah membuatku merasa cukup untuk dunia yang selalu menuntut lebih?

Aku mencoba. Aku benar-benar mencoba. Tapi setiap kali aku mulai tersenyum pada orang lain, aku merasa bersalah. Seolah hatiku berkhianat pada Arga. Dan aku tahu itu tidak sehat. Tapi perasaan tidak selalu tunduk pada logika, bukan?

Suatu malam, aku bermimpi bertemu dengannya. Kami berjalan di bawah langit yang bersih, tak ada hujan, hanya cahaya lampu jalan yang redup. Ia menatapku, seperti dulu. Lalu berkata, “Sudah saatnya kau berhenti menyalahkan diri sendiri.”

Aku terbangun dengan airmata membasahi pipi. Kata-kata dalam mimpi itu seperti pintu kecil yang terbuka. Aku mulai mengingat bahwa tidak ada yang benar-benar salah dalam cinta kami. Kami hanya dua orang yang mencoba, dan kalah oleh kenyataan.

Aku pun akhirnya membuka laci itu. Mengeluarkan surat yang dulu kutulis untuknya. Aku membacanya ulang, kalimat demi kalimat. Lalu untuk pertama kalinya, aku menambahkan kalimat baru di akhir:

"Tapi Arga, aku akan belajar memaafkan hari-hari yang tidak berjalan seperti harapan. Aku akan belajar mencintai hujan lagi. Bukan karena ingin mengingatmu, tapi karena aku ingin mengingat diriku sendiri—yang pernah bahagia bersamamu, dan harus kembali bahagia tanpamu."

Aku tidak tahu apakah benar aku akan sembuh. Tapi aku tahu satu hal: kehilangan tidak harus disembuhkan. Kadang ia hanya perlu diterima. Ditemani. Dibiarkan menjadi bagian dari diri, seperti bekas luka yang tak lagi sakit, tapi tetap ada.

Di taman, beberapa minggu kemudian, aku melihat seorang anak kecil berlarian mengejar kupu-kupu meski hujan turun pelan. Ia tertawa lepas, tubuhnya basah kuyup, tapi wajahnya begitu hidup.

Aku tersenyum kecil. Dan untuk pertama kalinya, senyum itu tidak palsu.

Langit masih kelabu. Dada masih terasa kosong. Tapi di sela hujan yang terus turun, ada secercah hangat yang mulai tumbuh. Mungkin cinta memang tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berganti bentuk: menjadi hujan, menjadi puisi, menjadi diam yang tak lagi menyakitkan.

Dan aku…
Akan terus belajar hidup.
Meski di dalam dada, hujan masih turun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

{ SKIZOFRENIA }

{ LAKUNA }

{ NELANGSA }