{ Hampa }
Di keheningan malam hanya ada aku dan kehampaan yang menyelimuti diriku—
seperti selimut tipis yang tak menghangatkan, hanya menambah dingin yang menusuk hingga tulang.
Bintang-bintang enggan bicara malam ini,
dan bulan seolah lupa caranya menyinari luka-luka yang kupendam dalam diam.
Aku duduk di antara bayangan dan kenangan,
menyusun napas yang terasa berat,
mencoba memahami kesunyian yang kini menjadi satu-satunya teman setia.
Langkah-langkah masa lalu bergema di dalam pikiranku,
seperti selimut tipis yang tak menghangatkan, hanya menambah dingin yang menusuk hingga tulang.
Bintang-bintang enggan bicara malam ini,
dan bulan seolah lupa caranya menyinari luka-luka yang kupendam dalam diam.
Aku duduk di antara bayangan dan kenangan,
menyusun napas yang terasa berat,
mencoba memahami kesunyian yang kini menjadi satu-satunya teman setia.
Langkah-langkah masa lalu bergema di dalam pikiranku,
membawa kembali wajah-wajah yang pernah membuatku tersenyum—
lalu pergi tanpa pamit, meninggalkan lubang sunyi yang tak bisa lagi kutambal dengan harapan.
Hatiku, seperti jendela yang retak karena badai,
masih berdiri, tapi tak lagi utuh.
Dan malam...
malam hanya menatapku dalam bisu,
seolah paham betul bahwa aku sedang hancur pelan-pelan,
tanpa suara, tanpa pelukan,
hanya tangis yang tak sempat jatuh karena aku sudah terlalu kering untuk menangis lagi.
Jika esok tak pernah datang,
mungkin malam ini adalah saksi terakhir
dari seorang jiwa yang terlalu pandai menyembunyikan luka,
namun tak pernah benar-benar sembuh darinya.
Aku menatap langit yang kosong,
seperti dada ini yang tak lagi mampu merasakan hangatnya harapan.
Waktu bergerak lambat—terlalu lambat,
seakan menyiksaku dengan setiap detik yang memaksaku bertahan,
meski aku tak tahu lagi untuk apa.
Dulu, ada tawa yang mengisi ruang-ruang di dadaku,
ada tangan yang menggenggamku erat saat dunia terasa terlalu berat.
Tapi kini, tangan itu telah pergi,
dan aku hanya menggenggam bayangan—
yang semakin hari, semakin pudar oleh waktu.
Aku berjalan di antara reruntuhan rasa yang pernah tumbuh,
menginjak pecahan kenangan yang tak sengaja kutinggalkan.
Setiap langkah membawa rasa perih yang sulit dijelaskan,
seperti luka lama yang kembali menganga tanpa alasan.
Aku ingin marah, tapi pada siapa?
Pada takdir? Pada cinta? Atau pada diriku sendiri yang terlalu bodoh percaya pada keabadian?
Kadang aku berpura-pura kuat di siang hari,
tersenyum pada dunia yang tak pernah benar-benar tahu betapa rapuhnya aku.
Tapi malam, oh malam…
ia tahu segalanya.
Ia tahu aku sering berbicara pada kekosongan,
memohon agar rasa ini berhenti menggerogoti sisa-sisa harap yang kutanam bertahun-tahun lalu.
Aku sudah mencoba melupakan,
tapi justru dalam proses itulah aku makin terjebak dalam ingatan.
Segala yang ingin kulenyapkan malah bersemayam lebih dalam,
mengakar di relung-relung yang tak bisa kugapai.
Dan saat semua menjadi terlalu sunyi,
aku mulai berbicara dengan diriku sendiri,
meminta maaf karena tak bisa menyelamatkan kita,
karena tak bisa mempertahankan apa yang dulu begitu indah,
karena aku membiarkanmu pergi saat aku masih mencintaimu.
Kini aku hanya bayang-bayang dari seseorang yang dulu pernah hidup sepenuhnya.
Aku bernapas, ya, tapi tak benar-benar hidup.
Aku berjalan, tapi tanpa arah.
Aku ada
tapi tak lagi utuh.
Dan malam terus bergulir,
menyapu waktu, menelan air mata yang tak sempat jatuh.
Sampai kapan aku harus begini?
Sampai kapan aku harus menanti cahaya di balik gelap ini?
Atau mungkinkah…
aku memang ditakdirkan untuk menyatu dengan kehampaan
yang sejak awal tak pernah benar-benar meninggalkanku.
Komentar
Posting Komentar