{ Pergilah, Tinggalkan Aku Tak Apa }
Pergilah, tinggalkan aku tak apa. Aku sudah terlalu lama belajar mencintai kehilangan dalam diam, mengakrabi luka-luka yang tak pernah kupilih, dan berdamai dengan kenyataan bahwa tidak semua yang kita jaga akan tinggal.Aku tahu, hatimu sudah bukan lagi rumah untukku. Tatapanmu telah lama kehilangan hangat, dan kata-katamu kini lebih banyak menyayat daripada menenangkan. Aku bukan lagi orang yang kau cari di tengah gelisahmu, bukan lagi pelabuhan tempatmu pulang dari badai. Dan tak apa. Sungguh, tak apa.
Kita pernah indah, aku tahu. Pernah tertawa sampai lupa waktu, berbagi cerita hingga dini hari, saling menyebut nama seperti doa. Tapi keindahan, seperti bunga musim semi, kadang hanya datang sebentar untuk mengajarkan kita bahwa sesuatu bisa tumbuh meski tak ditakdirkan untuk bertahan.Jangan merasa bersalah. Cinta memang tidak pernah menjanjikan akan selamanya tinggal. Ia datang, menetap, lalu kadang pergi—tanpa sebab, tanpa alasan yang benar-benar bisa dimengerti. Aku telah belajar menerima bahwa mencintai tidak selalu berarti memiliki, dan melepaskan kadang adalah bentuk cinta paling tulus yang bisa kupilih.
Akan ada malam-malam setelah kepergianmu yang terasa sunyi. Akan ada lagu-lagu yang masih memanggil ingatan tentangmu. Tapi aku tak akan merutuki waktu yang telah kita lewati. Sebab meski perih, kau pernah menjadi bahagiaku. Kau pernah membuatku merasa cukup, walau hanya sesaat.
Kini, aku hanya ingin merawat diriku sendiri. Menyulam kembali bagian-bagian yang robek, menenun ulang harapan yang sempat pudar. Bukan untuk menggantikanmu, tapi untuk membuktikan bahwa aku bisa tetap hidup, bahkan setelah kau pergi. Bahwa aku masih bisa mencintai, dimulai dari diriku sendiri.Jadi, pergilah. Jangan menoleh lagi. Aku tidak akan mengejar. Aku tidak akan memohon. Aku hanya akan berdiri di sini, mengucapkan selamat jalan dengan senyum paling damai yang bisa kuberikan.Karena aku tahu, jika kau memang bukan untukku, maka mempertahankanmu hanya akan melukai kita berdua lebih dalam.Pergilah, tinggalkan aku—tak apa. Aku akan baik-baik saja.
Dengan langkahmu yang menjauh, aku seperti menyaksikan musim gugur terakhir dalam hidupku—ranting demi ranting hatiku merelakan dedaunan kenangan luruh ke tanah. Tidak ada badai dalam kepergianmu, hanya keheningan yang mencekam. Mungkin itulah yang paling menyakitkan—kepergian yang begitu tenang, seolah aku tidak pernah cukup berarti untuk membuatmu menoleh sekali saja.Namun, aku memilih untuk tidak membenci. Karena membenci hanya akan menahanku dalam lingkaranmu lebih lama dari yang seharusnya. Dan aku tak ingin hidupku berhenti di titik ini. Kau boleh memilih pergi, tapi aku juga berhak memilih untuk tetap hidup. Untuk melangkah tanpa bayangmu yang menghantui.
Aku akan kembali menata pagi-pagiku tanpa menanti pesanmu. Aku akan belajar menyeduh kopi tanpa mengingat caramu menyukai yang pahit tanpa gula. Aku akan duduk di bangku taman yang biasa kita datangi, tidak lagi untuk mengenangmu, tetapi untuk mengenal ulang diriku yang dulu tenggelam dalam bayang-bayangmu.Mungkin suatu hari aku akan bertemu seseorang yang baru—bukan untuk menggantikanmu, tapi untuk bersamaku melangkah ke arah yang tak pernah bisa kau tempuh. Seseorang yang tak takut tinggal saat badai datang, yang tak ragu menggenggamku tanpa perlu kutanya, “Kau akan bertahan, bukan?”
Tapi sampai hari itu tiba, aku akan tetap di sini, membangun kembali diriku sendiri. Dengan perlahan, dengan pelan, tapi pasti. Aku akan merayakan luka ini bukan sebagai akhir, melainkan sebagai awal dari kebebasan yang selama ini tak pernah benar-benar kumiliki.Dan jika suatu hari namamu kembali terdengar di antara angin atau nyanyian senja, aku ingin bisa tersenyum—bukan karena masih mencintaimu, tapi karena aku akhirnya tahu: aku telah selesai. Aku telah benar-benar merelakan.
Jadi, pergilah. Bawa semua kenangan yang ingin kau simpan, biarkan sisanya tinggal bersamaku sebagai pelajaran. Aku akan menjadikannya benih untuk menumbuhkan versi terbaik dari diriku. Versi yang utuh. Versi yang tak lagi menggantungkan maknanya pada siapa yang memilih tinggal atau pergi.Karena aku kini tahu, cinta yang paling setia adalah cinta yang tumbuh dari dalam diriku sendiri.
keren banget kak, itu pas nyeduh kopinya goyang ga?
BalasHapus